ROYALTI MUSIK: MEMBONGKAR KRISIS TRANSPARANSI DAN HAK SENIMAN
Oleh: Adiyanto, S.Sn., M.M. (Pamong Budaya Ahli Muda Disbudpar Jatim)
Musik di Sekitar Kita, Hak Seniman yang Terabaikan
Hampir setiap ruang publik di Indonesia mulai dari warung kopi sederhana, mal megah, hingga restoran modern dipenuhi alunan musik. Musik hadir sebagai hiburan, pengisi suasana, bahkan penggerak ekonomi. Namun, pertanyaan mendasar terus bergema: apakah para pencipta dan musisi benar-benar menerima hak royalti atas pemutaran karya mereka? Sayangnya, jawabannya sering memicu kekecewaan. Di tengah gemerlap industri musik, banyak seniman masih bergulat demi mendapatkan hak ekonomi yang dijanjikan dan diatur dalam undang-undang. Inilah wajah krisis transparansi yang melunturkan kepercayaan terhadap sistem royalti Indonesia. Sebagai Pamong Budaya di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur, saya sering berinteraksi dengan para seniman yang mengeluhkan betapa sulitnya memperoleh kepastian royalti. Keluhan itu tidak hanya datang dari musisi besar, tetapi juga dari pelaku seni lokal yang karyanya sering diputar di ruang publik. Dari sini saya semakin meyakini, persoalan royalti bukan isu pinggiran, melainkan menyangkut keberlangsungan ekosistem budaya kita.

LMK dan LMKN: Regulasi Mulia, Praktik yang Bermasalah
Secara hukum, Indonesia memiliki payung yang cukup kuat lewat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Untuk mengeksekusinya, dibentuk LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) dan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional). Idealnya, sistem ini menjamin royalti seniman saat karyanya diputar publik. Namun dalam praktiknya, banyak celah: royalti lambat dibayar, laporan distribusi tidak transparan, bahkan ada tumpang tindih klaim antar-LMK. Akibatnya, seniman yang layak menerima hak seringkali hanya menunggu janji.
Kasus Mie Gacoan: Bukti Nyata Nilai Royalti
Baru-baru ini, salah satu kasus penting muncul dari dunia usaha. Mie Gacoan di Bali akhirnya membayar Rp 2,2 miliar sebagai royalti kepada LMK SELMI, sebagai penyelesaian sengketa mengenai penggunaan musik tanpa izin. Kasus ini melibatkan semua gerai di Bali, Jawa, dan Sumatera, serta mencakup periode 2022–2025.(detik.com, 8-8-2025).Hal ini menandakan dua hal yaitu royalti bukan sekadar aturan administrasi, tetapi punya konsekuensi ekonomi dan hukum nyata, dan nilainya bisa sangat besar, terutama bila sistem tidak dipatuhi oleh pengguna musik komersial. Kasus ini bisa menjadi pelajaran penting bahwa kewajiban royalti tidak bisa diabaikan oleh siapa pun dari usaha kecil hingga bisnis besar.
Krisis Transparansi: Di Mana Uang Itu Mengalir?
Penyakit utama sistem royalti adalah ketertutupan informasi: -Berapa dana yang dikumpulkan LMK dari pengguna musik? -Bagaimana pembagiannya kepada tiap seniman? -Mengapa royalti yang diterima seniman sering jauh di bawah ekspektasi? Tanpa transparansi, sistem menjadi rentan manipulasi dan kehilangan legitimasi. Seniman akhirnya hanya menerima angka tanpa penjelasan.
Inisiatif Bijak: Gending Tradisi Jawa Tanpa Royalti
Di tengah ketegangan soal royalti, hadir kabar positif dari Jawa Timur. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jatim mengenalkan solusi kreatif berupa tautan gending-gending tradisi Jawa Timur yang bebas royalti, yang dapat diputar di kafe, restoran, dan tempat usaha lainnya. Inisiatif ini diinisiasi oleh Taman Budaya Jawa Timur, yang melakukan proses rekaman sekaligus mendokumentasikan gending-gending tersebut agar dapat diakses secara terbuka. Langkah ini bukan sekadar hal praktis, tetapi juga membumikan budaya lokal. Pilihan ini dapat mengurangi beban lisensi musik populer, menumbuhkan suasana otentik dan estetis, serta memperkuat pelestarian budaya dan pariwisata daerah. Sebagai Pamong Budaya, saya melihat kebijakan ini adalah contoh nyata bagaimana pemerintah daerah dapat hadir dengan solusi kreatif: membantu pelaku usaha, melestarikan seni tradisi, sekaligus menghindari potensi sengketa hukum. Solusi seperti ini pantas dicontoh oleh daerah lain sebagai pendekatan harmonis antara regulasi dan kreativitas lokal.
Dampak Krisis Transparansi bagi Seniman dan Industri Musik
Krisis yang berlangsung berdampak serius: -Seniman kehilangan hak ekonomi, sementara karya mereka dinikmati publik tanpa kompensasi layak. -Motivasi berkarya menurun. Kreativitas sulit tumbuh bila penghargaan tidak sesuai jerih payah. -Regenerasi industri musik terhambat, karena generasi muda melihat berkarya musik bukan jalan yang menjanjikan. -Hilangnya kepercayaan publik terhadap kehadiran negara dalam melindungi seniman.

Membongkar Krisis dan Menawarkan Solusi
Mengurai krisis royalti bukan sekadar meratap, tetapi menggambar masa depan. Beberapa langkah kritis yang diperlukan: -Transparansi Publik Laporan royalti (penerimaan & distribusi) harus tersedia secara terbuka. -Audit Independen Untuk memastikan distribusi berjalan adil dan bebas kecurangan. -Digitalisasi Royalti Sistem terpadu real-time dan akurat berbasis teknologi. -Literasi Hak Cipta untuk Seniman Edukasi agar seniman memahami dan memperjuangkan haknya. -Kolaborasi Multi-Pihak Pemerintah, LMK/LMKN, pengguna musik, dan seniman duduk bersama membangun sistem yang adil. -Model Budaya Lokal seperti Gending Bebas Royalti Sebagai alternatif sementara dan pelestarian budaya.
Penutup: Mengembalikan Martabat Seniman
Musik adalah karya intelektual lahir dari upaya, perasaan, dan doa seniman. Mengabaikan royalti berarti mengabaikan martabat pencipta. Kasus seperti Mie Gacoan mengingatkan kita bahwa royalti bukan sekadar angka kecil melainkan hak nyata yang layak ditegakkan. Sedangkan inisiatif seperti gending tradisi bebas royalti menunjukkan bahwa solusi bisa lahir dari akar budaya. Saya meyakini bahwa royalti adalah napas kehidupan seniman. Jika sistem ini transparan dan berintegritas, maka seniman akan sejahtera, industri musik berkembang, dan budaya kita semakin bermartabat. Kini saatnya membongkar krisis transparansi dan menata ulang sistem royalti agar musik yang kita nikmati setiap hari juga bisa menjadi sumber keberlanjutan bagi penciptanya.
Referensi:
